Tentang wanita, entah mengapa melulu menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk dikupas. Baik disajikan dari buah jemari lembut para wanita sendiri, maupun dari sekadar terkaan kaum lelaki yang mengisahkan para wanita. Setidaknya, alunan dayu dari senandung berikut menjadi bukti berkenyataan. Maher Zein dengan The Rest of My Life, Duhai Pendampingku oleh grup nasyid Edcoustic, Insan Bernama Kekasih yang dipopulerkan oleh UNIC di negeri Jiran, Malaysia, bahkan sampai Iwan Fals berdendang Mata Indah Bola Pingpong.
Wanita, telah menjadi sosok makhluk yang melengkapi
dunia ini dengan paripurna. Lakunya malah bisa dinarasikan menjadi sebuah lirik
yang indah dengan melodi yang membius.
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan
adalah wanita shalihah.”
(HR. Muslim).
(HR. Muslim).
Raga, jiwa, peran, posisi, dan aktualisasi para wanita
tak ayal mempunyai tahta yang teramat krusial bagi siapapun manusia. Wanita
diberi keistimewaan menjadi yang pertama kali merasakan adanya kehidupan
manusia di dalam rahim. Wanita yang memberikan air susu kepada para bayi
sebagai makanan pertama paling bergizi dan menyehatkan. Hingga wanita pula yang
senantiasa memberikan peluk dan ruang terhangat untuk menerima apa adanya
setiap kehadiran manusia di sisinya. Bahkan hingga ribuan kata ini telah dicoba
untuk melukiskan kasih sayangnya seorang wanita, mungkin tak sampai genap kasih
sayang itu tuntas teruraikan. Wallahu
a’lam.
Sayangnya, sebagian wanita menjadi terlupa bahwa
semata-mata kasih sayang yang tersemat dalam berlakunya sikap mereka adalah
anugerah Allah Azza wa Jalla, sang Maha Penyayang dan Pengasih. Diriwayatkan
dari sahabat nabi, Abu Hurairah r.a., “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Allah telah menjadikan kasih sayang-Nya terbagi dalam seratus bahagian. Dia
menahan sembilan puluh sembilan bahagian di sisi-Nya dan menurunkan satu
bahagian ke bumi. Dari satu bahagian itulah para makhluk saling kasih-mengasihi
sehingga seekor ibu binatang mengangkat cakarnya dari anaknya kerana takut
melukainya.” [HR. Imam Muslim].
Pernah suatu hari Sayyidina Umar datang menghadap
Rasulullah Saw. dengan membawa beberapa orang tawanan. Di antara para tawanan
itu terlihat seorang wanita sedang mencari-cari, lalu jika ia mendapatkan
seorang bayi di antara tawanan dia terus mengambil bayi itu lalu mendakapkannya
ke perut untuk disusui. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Bagaimana pendapat kamu
sekalian, apakah wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Para
sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah, sedangkan dia mampu untuk tidak
melemparnya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh Allah lebih mengasihi
hamba-Nya daripada wanita ini terhadap anaknya.”
Allah Swt. Dialah yang mempunyai kekuasaan menitipkan
sepercik dari samudra kasih sayang-Nya yang teramat luas bagi para wanita dunia
maupun bidadari surga. Maka kelembutan dan kasih sayang para wanita telah
terpancarkan memenuhi dunia kian harinya. Begitu seterusnya, semenjak Siti Hawa
sampai dengan ibu-ibu masa kini.
Mungkin karena acap kali distigmakan bahwa wanita
adalah kelembutan atau wanita adalah kasih sayang, kita menjadi kurang
menyadari bahwa kepemilikan rasa welas, asih, sayang, dan lembut tersebut
adalah milik Allah. Para wanita semestinya memohon dan memintanya kepada Allah
Swt. Fitrah kelembutannya akan menjadi tumpul manakala tidak diasah. Fitrah
kebeningan jiwanya akan menjadi keruh manakala selaksa jiwa di dalam hati gelap
dan pekat. Fitrah pengasihnya akan menjadi hambar manakala nutrisi ruhiyahnya
gersang.
Oleh karena itu, tak sedikit pula kita saksikan dewasa
ini cerita kebengisan para wanita terhadap saudara, orang tua, suami, maupun darah
dagingnya sendiri. Ibu yang tega membuang anak, istri yang berani membakar
suami, maupun anak perempuan yang kejam menyakiti hati orang tua sendiri.
Jadi, saudariku muslimah, mari memohon, meminta, dan
berdoa pada Allah Azza wa Jalla, duhai para wanita yang telah Allah muliakan.
“Hendaklah salah seorang dari kamu memohon seluruh
kebutuhannya kepada Rabbnya, sampai-sampai tali sandalnya apabila putus.” (HR
At Tirmidzi dalam Ad Da’awaat)
Perkara tali sandal putus pun, Rasulullah mengajarkan
kita untuk memohon pertolongan kepada Allah. Apalagi perkara memohon kasih
sayang dan kelembutan yang berharga mulia bagi dunia ini. Maka selayaknya bagi
“apapun” seorang wanita adalah merutinkan perbanyak doa. Bagi para bunda yang
telah diamanahi karunia putra dan putri, bagi istri yang mendoakan suaminya
agar selamat bekerja di luar rumah. Maupun bagi para anak gadis yang masih
berada di bawah asuhan ayahnya. Tidaklah sama sekali salah bila mereka
mendoakan kebaikan bagi diri, suami, orang tua, dan keturunannya.
Tidaklah seuntai doa telah merayap naik ke petala
langit yang tujuh melainkan akan dikabulkan oleh Allah Swt. “Dan Rabbmu
berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS Ghafir: 60).
Juga sesuai dengan yang telah diriwayatkan dari
sahabat Jabir r.a. bahwasanya Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tiada seorang hamba
yang meminta dengan suatu permohonan, melainkan Allah akan memberi apa yang ia
minta, jika ia menahan diri dari suatu perbuatan perbuatan maksiat, Allah
Ta’ala akan menyelematkan dirinya dari bahaya, atau diampuni dosa-dosanya.
Selama si hamba tidak berdoa kepada perbuatan (amal) yang mendekatkan diri
kepada dosa, atau berdoa agar terputus dari persaudaraan dengan karib
kerabatnya.”
Maka tidak ada keraguan sedikit pun bahwa doa-doa kita
tak akan berbalas oleh Azza wa Jalla. Kelak akan terkabulkan, kapan pun masa
yang paling tepat menurut Allah. Hanya diri kita lah yang kadang terlalu cepat
mengecap keputusasaan dan memasung baik sangka. Oleh karena itu, menjadi tidak
mengherankan dan bukanlah hal yang lucu, apabila ada seorang gadis kecil
belasan tahun memanjatkan pengharapan, “Ya Allah, ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami pasangan ,keluarga, dan keturunan kami sebagai penyenang hati dan
jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Gadis kecil itu mungkin tidak berharap doanya akan
terkabul seketika, melainkan ia mengetahui bahwa Allah akan mengabulkan doa
tersebut saat yang tepat meski beberapa tahun yang akan datang. Sebagaimana
dikatakan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a., “Demi Allah, aku tidak pernah
memikirkan apakah doaku diterima atau tidak. Yang kupikirkan adalah aku bisa
berdoa atau tidak. Karena jika engkau menyelesaikan sebuah doa, maka jawabannya
itu pasti langsung mengikutinya.”
Kini, marilah kita simak kesaksian manusia teragung
sepanjang zaman yang akan mengisahkan mukjizat diri beliau sendiri, Rasulullah
Muhammad Saw., “Sesungguhnya aku adalah penutup para nabi, dan Adam terbuat
dari tanahnya. Aku akan mengabarkan tentang awal itu semua yaitu doanya
moyangku Ibrahim a.s., kabar dari Isa tentang aku, mimpi yang dialami ibuku dan
juga yang dialami oleh ibunya para nabi.” (HR Imam Ahmad diriwayatkan dari Al
Arbadh bin Sariyah).
Benarlah bahwa doa Nabi Ibrahim yang terpanjatkan
ratusan bahkan ribuan tahun silam jauh sebelum kelahiran Rasulullah Muhammad
Saw telah terkabulkan pada diri beliau. Allah Swt. telah mengabadikan
perisitiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail saat di tanah Haram berdoa, “Ya Tuhan
Kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami
(juga) umat yang berserah diri kepada-Mu. Ya Tuhan kami, utuslah di tengah
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada
mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan
menyucikan mereka…” Yang termaktub di dalam Al Quran surat Al Baqarah 128-129.
Sekarang, mari berdoa sebanyak-banyaknya agar Allah
memupuk kasih sayang dan kelembutan pada diri dan jiwa kita, duhai para
muslimah. “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah dibanding doa.”
(Riwayat At Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar