BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pelanggaran Hak Cipta
(Intellectual Property Copyright’s violation) Hak Cipta pertama kali disahkan
pada tahun 1981 oleh Mahkamah Agung Amerika setelah kasus Diamond Vs Diehr
bergulir. Pembajakan dan pelanggaran hak cipta tampaknya telah mendarah
daging di masyarakat Indonesia. Terkadang masyarakat sendiri tidak menyadari,
bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah suatu bentuk pelanggaran hak cipta.
Bahkan, kegiatan pelanggaran hak cipta seperti tindakan legal yang setiap orang
boleh melakukannya.
Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di
Indonesia menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang
tidak sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal, seharusnya
berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam hal penghormatan
terhadap hak cipta.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Hak Cipta
Definisi tentang hak cipta dapat ditemui diberbagai
literature, dan salah satunya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, dalam
pasal 1 ayat 1 disebutkah bahwa hak cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak eklusif disini mengandung
pengertian bahwa tidak ada pihak lain yang boleh melakukan kegiatan pengumuman
atau memperbanyak karya cipta tanpa seizin pencipta, apalagi kegiatan tersebut
bersifat komersil.
Di
dalam Undang-undang hak cipta ini juga disebutkan berbagai karya yang
dilindungi hak ciptanya. Karya tersebut merupakan karya yang diciptakan atau
dihasilkan dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan sastra. Berikut ini berbagai
karya yang dilindungi hak ciptanya oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor
19 tentang Hak Cipta antara lain :
1.
Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
2.
Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis (alat peraga yang dibuat
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau
tanpa teks;
3.
Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
4.
Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
5.
Arsitektur;
6.
Peta;
7.
Seni batik;
8.
Fotografi;
9.
Sinematografi;
10.
Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan
Dalam suatu karya cipta setidaknya melekat dua hak bagi
pencipta atau pengarang. Hak tersebut adalah hak ekonomi dan hak moral. Hak
ekonomi adalah yang dimiliki pencipta atau pengarang untuk menikmati keuntungan
ekonomi yang diperoleh dari setiap eksploitasi karya ciptaannya. Sedangkan hak
moral merupakan hak untuk menjaga integritas karya ciptaannya dari setiap
intervensi pihak lain yang dapat merusak kreativitas pencipta atau pengarang.
Dari definisi tersebut, berarti segala bentuk usaha dengan
memanfaatkan hasil karya orang lain yang dapat mendatangkan keuntungan bagi
sesorang tanpa memperoleh izin dari pencipta karya tersebut dapat dikategorikan
sebagai tindak pelanggaran hak cipta. Selain itu usaha untuk meniru karya orang
lain yang dapat merusak intergitas karya tersebut dapat juga dikategorikan
sebagai bentuk pelanggarah hak cipta.
2.2 Dasar Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK CIPTA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK CIPTA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
b. bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian
internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak Cipta
pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum
nasionalnya;
c. bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah
sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan
Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas;
d. bahwa dengan memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang-undang
Hak Cipta yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan Undang-undang Hak Cipta
yang baru menggantikan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan seb agaimana tersebut dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, dibutuhkan Undang-undang tentang Hak Cipta.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3564).
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK CIPTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang
atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak
yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
5. Pengumuman adalah pem bacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran,
atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media
internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat
dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara
keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan
bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara
permanen atau temporer.
7. Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama
bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa
pun.
8. Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam
bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabun gkan
dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer
bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang
khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak
eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi
Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau
rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan karya siarannya.
10. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang
menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan,
atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni
lainnya.
11. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali
merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman
bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perek aman suara atau
perekaman bunyi lainnya.
12. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk
badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan
transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik.
13. Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh
pemohon kepada Direktorat Jenderal.
14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang
Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak
Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
15. Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur
dalam ketentuan Undang-undang ini.
16. Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan
Intelektual, termasuk Hak Cipta.
17. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 72
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49
aya t (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(6) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal
55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(9) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
BAB
III
STUDI
KASUS
3.1 Studi Kasus
Di
Indonesia seseorang dengan mudah dapat memfoto kopi sebuah buku, padahal dalam
buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang yang
ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan foto kopi dilakukan dan tanpa
memperoleh izin dari pemegang hak cipta maka dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hak cipta. Lain lagi dengan kegiatan penyewaan buku di taman
bacaan, masyarakat dan pengelola taman bacaan tidak sadar bahwa kegiatan
penyewaan buku semacam ini merupakan bentuk pelanggaran hak cipta. Apalagi saat
ini bisnis taman bacaan saat ini tumbuh subur dibeberapa kota di Indonesia,
termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta dapat dengan mudah ditemukan taman bacaan
yang menyediakan berbagai terbitan untuk disewakan kepada masyarakat yang
membutuhkan. Kedua contoh tersebut merupakan contoh kecil dari praktek
pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat
tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari pelanggaran
hak cipta.
Padahal jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil. Pengarang atau penulis mungkin akan memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta dapat memotivasi kegiatan plagiasi di Tanah Air. Kita tentu pernah mendengar gelar kesarjanaan seseorang dicopot karena meniru tugas akhir karya orang lain.
Padahal jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil. Pengarang atau penulis mungkin akan memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta dapat memotivasi kegiatan plagiasi di Tanah Air. Kita tentu pernah mendengar gelar kesarjanaan seseorang dicopot karena meniru tugas akhir karya orang lain.
Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran
hak cipta di Indonesia menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah
terkadang tidak sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal,
seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam hal
penghormatan terhadap hak cipta. Contoh konkrinya adalah perpustakaan, lembaga
ini sebenarnya rentan akan pelanggaran hak cipta apabila tidak paham mengenai
konsep hak cipta itu sendiri. Plagiasi, Digitalisasi koleksi dan layanan foto
kopi merupakan topik-topik yang bersinggungan di hak cipta. Akan tetapi selain
rentan dengan pelanggaran hak cipta justru lembaga ini dapat dijadikan sebagai
media sosialisasi hak cipta sehingga dapat menimalkan tingkat pelanggaran hak cipta
di Tanah Air.
Perpustakaan
menghimpun dan melayankan berbagai bentuk karya yang dilindungi hak ciptanya.
Buku, jurnal, majalah, ceramah, pidato, peta, foto, tugas akhir, gambar adalah
sebagai format koleksi perpustakaan yang didalamnya melekat hak cipta. Dengan
demikian maka perpustakaan sebenarnya sangat erat hubungannya dengan hak cipta.
Bagaimana, tidak di dalam berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan melekat
hak cipta yang perlu dihormati dan dijaga oleh perpustakaan. Jika tidak
berhati-hati atau memiliki rambu-rambu yang jelas dalam pelayanan perpustakaan
justru perpustakaan dapat menyuburkan praktek pelanggaran hak cipta.
Untuk itu dalam
melayankan berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan, maka perpustakaan perlu
berhati-hati agar layanan yang diberikannya kepada masyarakat bukan merupakan
salah satu bentuk praktek pelanggaran hak cipta. Dan idealnya perpustakaan
dapat dijadikan sebagai teladan dalam penegakan hak cipta dan sosialisasi
tentang hak cipta.
Layanan foto kopi,
digitalisasi koleksi serta maraknya plagiasi karya tulis merupakan isu serta
layanan perpustakaan yang terkait dengan hak cipta. Perpustakaan perlu
memberikan pembatasan yang jelas mengenai layanan foto kopi sehingga layanan
ini tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak cipta. Dalam kegiatan
digitalisasi koleksi, perpustakaan juga perlu berhati-hati agar kegiatan yang
dilakukan tidak melanggar hak cipta pengarang. Selain itu perpustakaan juga
perlu menangani plagiasi karya tulis dengan berbagai strategi jitu dan bukan
dengan cara proteksi koleksi tersebut sehingga tidak dapat diakses oleh
pengguna perpustakaan.
Foto
kopi di perpustakaan
Praktek Foto kopi
dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hak cipta. Hal ini disebabkan
karena foto kopi berarti memperbanyak suatu karya tanpa izin dari pengarang dan
menerima keuntungan ekonomi atas jasa foto kopi yang diberikan
Kegiatan foto kopi
di perpustakaan dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu foto kopi untuk
pengadaan koleksi perpustakaan serta layanan foto kopi yang disediakan bagi
pengguna perpustakaan. Kegiatan foto kopi untuk pengadaan koleksi perpustakaan
bertujuan untuk memenuhi kepentingan perpustakaan, sedangkan layanan foto kopi
bagi pengguna perpustakaan bertujuan untuk memudahkan pengguna perpustakaan.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa sering dijumpai koleksi perpustakaan yang merupakan hasil foto
kopi. Padahal kegiatan foto kopi ini merupakan suatu bentuk pelanggaran hak
cipta. Hal ini disebabkan oleh masalah klasik yang selalu dihadapi perpustakaan
yaitu keterbatasan dana. Perpustakaan idealnya mampu menjadi institusi pelopor
penegakan hak cipta. Kalaupun suatu koleksi perpustakaan terpaksa difoto kopi
itu didasarkan pada alasan bahwa buku tersebut tidak ada d ipasaran dan tidak
akan dicetak lagi oleh penerbit atau buku tersebut merupakan buku asing.
Buku-buku asing harganya sangat mahal sehingga dalam kegiatan pengadaan
perpustakaan cukup membeli satu eksemplar buku asing tersebut kemudia jumlahnya
diperbanyak dengan di foto kopi.
Untuk kegiatan
layanan foto kopi bagi pengguna perpustakaan, sebagai bentuk penghormatan
terhadap hak cipta maka apabila pengguna ingin memfoto kopi sebuah buku
pengguna tersebut disarankan untuk mencari buku yang dibutuhkan di toko buku.
Apabila buku yang dibutuhkan tidak ada di toko buku baru buku tersebut
diizinkan untuk difoto kopi dengan segala resiko menjadi tanggung jawab
pengguna perpustakaan tadi.
Dengan berbagai
usaha diatas, maka perpustakaan telah berpartisipasi dalam penegakan hak cipta.
Jangan sampai karena alasan mudahnya masyarakat memfoto kopi buku menyebabkan
para pengarang enggan menulis. Hal ini tentu akan berdampak terhadap
produktivitas penerbitan buku-buku berkualitas di perpustakaan serta menghambat
usaha pencerdasan bangsa. Usaha ini memang belum banyak disadari oleh
perpustakaan dan perpustakaan dimana kita bekerja dapat memulainya sebagai
bentuk penghormatan kepada hak cipta.
Minimalisasi plagiasi
Praktek plagiasi di Indonesia untuk memperoleh gelar mulai
dari sarjana sampai professor pernah terjadi. Hal ini terjadi menunjukkan sikap
masyarakat yang kurang menghargai karya orang lain. Untuk meminimalkan
terjadinya praktek plagiasi, berbagai perpustakaan memiliki strategi
tersendiri. Ada perpustakaan yang melakukan proteksi berlebih terhadap tugas
akhir sivitas akademiknya sehingga tidak mengizinkan pengguna mengakses ruangan
tersebut. koleksi tugas akhir diberlakukan layaknya benda pusaka yang tidak
boleh disentuh, padahal tugas akhir merupakan karya ilmiah yang akan bermanfaat
apabila banyak orang yang dapat mengaksesnya atau dengan katalain eksistensi
koleksi tersebut tidak percuma. Ada juga perpustakaan yang memberikan izin
kepada pengguna untuk mengakses koleksi tugas akhir dan bahkan memfoto kopi
koleksi tugas akhir tersebut.
Semua perpustakaan memiliki kebijakan tersendiri dengan
pertimbingan tertentu dan dalam kasus ini tidak ada yang benar atau salah. Akan
tetapi kebijakan apapun yang diterapkan setidaknya mengedepankan azas manfaat
dari keberadaan suatu koleksi. Perpustakaan tidak perlu takut koleksi yang
dimiliki akan dijiplak apabila memiliki sistem yang mampu mentedeksi kegiatan
plagiasi sejak dini. Caranya dengan memiliki sistem temu kembali informasi yang
memungkinkan mengetahui isi keseluruhan dari tugas akhir, laporan penelitian
atau koleksi perpustakaan lainnya. Dengan katalain katalog yang dimiliki
perpustakaan dilengkapi dengan abstrak. Kemudian katalog tersebut publikasikan
melalui internet (katalog online) yang memungkinkan setiap orang mengakses
katalog tersebut tanpa dihalangi oleh waktu dan tempat. Apabila setiap orang
dapat mengakses katalog yang memungkinkan masyarakat mengetahui isi suatu tugas
akhir atau karya ilmiah lainnya, maka ini merupakan suatu bentuk control
sosial. Kontrol sosial ini akan memaksa orang berpikir dua kali untuk melakukan
plagiasi karena dengan karena dari katalog online tersebut dapat dengan mudah
diketahui suatu karya hasil plagiasi atau bukan.
Selain itu perpustakaan juga dapat menyisipkan materi teknik
penulisan dan hak cipta dalam kegiatan pendidikan pemakai yang dilaksanakan
perpustakaan. Terkadang mahasiswa tidak mengetahui bahwa karya tulisannya
termasuk kedalam kategori karya hasil plagiat karena tidak mengetahui bagaimana
teknik penulisan karya ilmiah yang benar, misalnya dengan mencantumkan
referensi dari setiap kutipan yang digunakan dalam karya ilmiah yang
disusunnya. Perpustakaan juga dapat menyelipkan materi mengenai hak cipta dalam
kegiatan pendidikan pemakai sehingga semakin memotivasi penggun perpustakaan
untuk sadar hak cipta.
REFERENSI
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar